Saya dua kali menonton film Perempuan Berkalung Sorban ini, dan mencoba mengamati lagi film yang sempat ramai diperbincangkan karena ceritanya yang dianggap mendiskreditkan Islam dan pesantren. pada bagian awal cerita, saya sempat emosi juga dengan beberapa pernyataan-pernyataan kontroversial dari ayah annisa, yang merupakan pemilik pesantren, tentang perempuan muslimah. Menurut saya, ini salah. Harusnya ada katarsis yang cukup baik ketika memperbincangkan agama dalam cerita. Karena jika itu ditonton oleh seorang yang pemahaman agamanya kurang baik, atau oleh seorang non muslim misalnya, maka pernyataa-pernyataan itu akan diidentikkan dengan Islam. Ini sangat berbahaya. Jika memang film ini sebagai kritik atas kebiasaan satu pesantren misalnya, maka harus ada tokoh "putih" yang mengatakan secara langsung atau tidak bahwa kebiasaan itu kurang tepat.
Saya sepakat jika memang perempuan harus bebas, tapi bebas dalam hal apa dulu. Ini yang juga tidak disampaikan dengan baik dalam film ini. Setiap kali berbicara bebas seolah-olah kebebasan itu adalah suatu yang mutlak dan tidak mengikat. Ada rambu-rambu syariat itu yang harus diingat. Jika Hanung, sang sutradara mengatakan bahwa film ini adalah seni dan cerminan dari kebebasan berpendapat, maka harus jelas juga seni yang bagaimana? kebebasan berpendapat seperti apa?
Perlu kehati-hatian dalam membuat karya yang itu akan dikonsumsi oleh publik, tidak hanya mempertimbangkan seni dan kebebasan berekspresi. Karena bisa jadi jika karya itu tak memberikan pencerahan, justru mengajak orang pada kesesatan. Baik kesesatan berpikir ataupun kesesatan bertindak
0 komentar:
Posting Komentar