Bokeh
adalah film paling tidak jelas yang saya tonton dalam beberapa bulan terakhir.
Saya mencoba mencari beberapa sinopsis film ini, barangkali hanya saya saja
yang gagal paham. Ternyata semua sinopsis yang saya baca mengatakan hal yang
sama. Film ini tidak memiliki cerita yang jelas.
“Bokeh”
sendiri adalah istilah dalam bidang fotografi. Sementara film ini tidak
berbicara tentang fotografi, kecuali tokohnya, Riley (Matt O’leary) memang
senang memotret dengan kamera tua miliknya.
Riley dan
pacarnya, Jenai (Maika Monroe) sedang berlibur ke Islandia. Mereka menikmati
pemandangan indah, berfoto ria, dan menginap di hotel. Satu hari ketika
terbangun dari tidur, sesuatu yang ganjil terjadi. Mereka tidak mendapati
seorang pun di kota itu. Semua orang seakan-akan lenyap.
Mereka
berusaha mencari di semua tempat, semua penjuru, tapi kota itu benar-benar
sepi. Bukan bencana, karena semua masih tertata rapi. Tak ada kerusakan. Dari
sini, saya mulai penasaran. Saya mulai tertarik dengan film Bokeh ini.
Sepertinya ini akan menarik, pikir saya.
Lalu cerita
terus berjalan. Sampai separuh film, saya belum menemukan tanda-tanda atau
petunjuk tentang yang membuat saya penasaran itu. Kenapa kota itu tiba-tiba tak
berpenghuni. Adegan hanya menayangkan kedua kekasih yang awalnya sedih,
berusaha menikmati sepi itu. Mereka bisa masuk ke dalam mall dan mengambil
semua barang tanpa membayar sepeser pun. Mereka mengambil mobil yang terparkir
di pinggir jalan. Mereka bahkan bisa pindah-pindah rumah, karena tak ada satu
rumah pun yang berpenghuni.
Saya pun
mulai didera kebosanan. Film ini tak memuaskan rasa penasaran. Sampai kemudian,
Riley dan Jenai menemukan seorang kakek yang kehausan dan kelaparan. Mereka
hanya sempat berbincang semalam, karena keesokan harinya si kakek sudah
meninggal. Sama seperti saya, mereka pun semakin tidak memahami apa yang
sebenarnya terjadi. Termasuk, mengapa hanya mereka yang masih bertahan di sana.
Jenai
semakin dilanda kesedihan. Ia ingin pulang. Ia yang awalnya setuju dengan Riley
yang mengatakan, “Dunia ini milik kita berdua sekarang” tak benar-benar
bahagia. Beberapa kali mereka terlibat pertengkaran kecil. Apalagi ketika Riley
terjatuh di mall dan sikunya berdarah. Jenai panik. Ia mengatakan tak bisa
membayangkan jika ada apa-apa dengan diri Riley, karena tak ada dokter, tak ada
perawat, tak ada panggilan darurat.
Bokeh.
Mungkin singkatan dari Bosan Sekaleh atau Bosan Akeh. Karena memang film ini
tak menjawab rasa penasaran sedikit pun. Bahkan di bagian ending, sutradara
Geoffrey Or dan Andrew Sull menambah beberapa rasa penasaran baru yang tak
pernah dijawab.
Jenai
tiba-tiba mendapatkan sebuah gambar dari Riley bertuliskan “the winter sky we
can look forward to..” tak jelas yang terjadi kemudian. Jenai terlihat sangat
sedih. Pagi, Riley mendapati beberapa foto Jenai. Ketika melihat beberapa foto,
tiba-tiba ia lari dan mencari kekasihnya itu. Jenai sudah ditemukan mengambang
tak bernyawa di kolam. Tak jelas pula, apakah ia bunuh diri atau bagaimana.
Riley terlihat tak begitu bersedih. Ia pergi dengan mobilnya. Sampai 3 menit
lamanya, disorot wajah Riley yang mengemudikan mobil. Saya berpikir, mungkin
inilah kejutannya. Beberapa detik di akhir.
Sial. Tak
ada perubahan apa-apa. Benar-benar tidak jelas. Tapi kemudian saya coba
berpikir kembali. Atau mungkin memang ketidakjelasan itulah yang hendak
disuguhkan dalam film ini. Ada pesan mendalam dari rangkaian ketidakjelasan? Ada
simbol-simbol yang tak bisa saya tangkap? Entahlah.
Film ini bercerita tentang foto atau masa lalu yg tidak bisa terlupa. Kehilangan seorang kekasih yang telah tiada dikehidupan nyata.
BalasHapus