Kakek yang
bernama Lucky ini diperankan Harry Dean Stanton. Oh, tepatnya saya sebut lelaki
tua renta. Karena dalam film, ia mengaku tidak punya istri yang berarti juga
tidak punya anak dan otomatis pula tidak punya cucu. Lucky mengisi hari-harinya
bermain teka-teka silang (TTS). Ia seolah sangat menikmati bermain TTS, sampai
terkadang harus buka kamus dan menelpon teman untuk menemukan jawabannya.
Usia Lucky
kira-kira hampir satu abad. Kulitnya sudah tak bisa dikatakan kencang. Berjalannya
pun sudah seperti kehabisan tenaga. Tapi dokter mengatakan bahwa ia sehat. Sangat
sehat. Bahkan lebih sehat dari orang-orang yang seumuran dengannya. Mungkin karena
itulah, Lucky masih merasa percaya diri. Satu kali ia menantang lelaki muda
untuk berkelahi. Tentu saja, tantangan itu tidak diladeni.
Saya kurang
mengikuti dengan baik film ini. Karena terlalu banyak dialog, miskin aksi. Jadi
wajar jika saya tidak bisa mengetahui ceritanya secara utuh. Apalagi sambil
menonton, saya sambi dengan membaca
dan membalas pesan WA. Saya tidak tertarik dengan film ini tapi saya memaksa
diri untuk menyelesaikannya, meski dalam beberapa secene saya lompati.
Tetapi herannya,
di Imdb, rating film ini lebih dari 7. Artinya banyak penonton yang
menyukainya. Saya tak habis pikir di bagian mananya? Di bagian mana bagusnya film ini? Apa karena
saat ending si Lucky tersenyum dan seolah-olah memberikan kata-kata mutiara
pada teman-temannya?
Apa karena
di dalam film garapan John Carroll Lynch ini banyak bertabur pesan bijak, salah
satu diantaranya adalah, kalau tidak salah diucapkan dokter pada Lucky: ada
perbedaan antara menjadi kesepian dan sendirian. Sebuah sindirian buat Lucky
yang memilih hidup sendiri. Bahkan tak punya Tuhan, alias atheis, menurut
beberapa sinopsis yang saya baca tentang film ini.
Mohon maaf,
jika saya hanya memberikan rating 2 untuk film Lucky ini.
Pengulas: Rafif Amir
0 komentar:
Posting Komentar